Memahami Peran Diri, Menghindari Hidup Dalam Kompetisi
Memahami Makna Oneness
Teal Swan—salah seorang motivator
sekaligus penulis buku yang memahami perihal spiritual dan relational
psychology—pernah menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “The anatomy of loneliness” mengenai konsep oneness atau makna kesatuan, memahami bahwa semua manusia yang berada dalam bumi
ini berasal dari source yang sama, dari energi yang sama. Konsep ini dianalogikan seperti sebuah air di
laut, yang membentuk gelombang dan melahirkan butiran-butiran air yang berbeda-beda. Di mana butiran tersebut diasumsikan sebagai kita, manusia. Konsep ini
menjelaskan bahwa kita berasal dari energi yang sama, hanya bagaimana kita
bereaksi terhadap hal sekitar yang menjadikan kita berbeda satu sama lain.
Pada awalnya, saya tidak menaruh perhatian besar mengenai apa yang tertulis di sana. Hingga akhirnya pemahaman ini secara tidak langsung mengajari saya makna hidup yang lebih dalam. Kita semua tidak bisa mengelak, bahwa kadang kita membuat hidup ini terlihat seperti sebuah kompetisi, mengenai siapa yang bisa mencapai tangga teratas hanya berdasarkan standar yang dibuat oleh lingkungan sekitar—bahkan untuk hal yang tidak menjadi tujuan hidup kita. Pada kondisi lain, timbulnya perasaan “Me VS them” sangat mungkin terjadi ketika kita belum memahami makna oneness yang sebenarnya, yang terjadi karena kita masih menjalani hidup dengan ego, dan belum mengetahui bahwa setiap masing-masing dari manusia memiliki peran dan misi hidupnya tersendiri.
Berhenti Menjalani Hidup Dengan Ego, Pahami Misi Jiwa Masing-Masing
Ketika saya masih hidup dalam ego, perasaan menjadi 'victim' akibat hidup yang terasa tak adil sering saya rasakan. Saya selalu bertanya-tanya, “Mengapa jalan saya harus selalu berkelok ketika orang lain bisa berjalan dengan lurus?, “Mengapa saya selalu ditempatkan pada keadaan di mana saya harus berjuang lebih keras di saat yang lain bisa melakukannya dengan lebih mudah?”, “Mengapa dengan kemampuan yang sama, dengan tujuan akhir yang sama, saya selalu dibuat seolah saya harus mengeluarkan effort yang lebih besar?” (bukan hanya berdasar opini pribadi)
Ada rasa marah ketika saya
melihat jalan orang lain yang terasa lebih mudah, (mungkin benar pepatah yang mengatakan rumput tetangga terlihat lebih hijau dari rumput di tempat kita sendiri). Berkali-kali pertanyaan “Kenapa?” selalu muncul ketika saya mulai muak
untuk dipaksa terus berjuang. Saya tahu kerja kerjas merupakan hal yang wajar,
namun ditempatkan untuk selalu berjuang lebih keras dari yang lain tentu bukan
hal yang bisa saya terima. Mungkin di sini sedikit terdengar egois, namun inilah yang saya
rasakan ketika saya masih hidup dalam ego saya.
Di fase awal, saya marah kepada
Tuhan, saya merasa makna 'adil' seharusnya terjadi dengan menempatkan kesulitan dan perjuangan saya sama dengan orang lain. Hingga akhirnya Tuhan memperlihatkan sendiri mengapa saya diminta
berjuang lebih keras kemarin—tentunya dengan hadiah yang bahkan saya rasa tak
sepadan dengan pelajaran yang saya terima sebelumnya.
Lalu saya masuk pada fase kedua, di sana saya masih hidup dalam ego bahwa saya 'victim' dari kehidupan yang kejam,
namun di sisi lain saya sudah percaya pada jalan Tuhan, rasa marah saya
berganti—saya tidak lagi marah pada
Takdir atau jalan Tuhan, tetapi saya marah dan selalu menyalahkan diri saya
untuk setiap kegagalan yang saya lakukan.
Which is stupid, saya tak bisa
menerimanya, namun saya juga tak tahu siapa yang harus saya salahkan selanjutnya.
Saya mengalami dua fase tersebut.
Dua fase yang saya lalui hingga saya mulai belajar dan mencoba koreksi diri
lebih baik lagi. Kini bukan lagi rasa marah yang saya alihkan, namun saya mulai
belajar untuk memahami hidup tidak dari sudut pandang saya sebagai manusia—di
mana sudut pandang manusia terbatas, sedangkan rencana dan jalan Tuhan terlalu luas.
Dari sana, saya mulai memahami
bahwa kita memiliki tugas dan perannya masing-masing. Setiap manusia yang hadir
di dunia ini, memiliki visi misi jiwanya sendiri, entah yang pada akhirnya
dapat mereka penuhi atau mungkin tak pernah mereka sadari hingga hidup berakhir nanti.
Pemahaman bahwa setiap orang memiliki peran masing-masing—membawa saya pada
asumsi bahwa—dengan peran yang berbeda,
dengan tujuan akhir yang berbeda, dan dengan visi misi hidup yang berbeda,
apakah mungkin kita akan menempuh jalan yang sama?
Ketika tujuan hidup saya dan Anda
berbeda, pencarian hidup kita berbeda, bukankah wajar bila kita dihadapkan pada
pelajaran hidup yang tidak sama untuk membuat kita sampai pada misi jiwa
masing-masing?
Tujuan hidup di sini bukan hanya sesuatu yang bersifat materil, tujuan hidup bisa berarti terpenuhinya kepuasan batin, bisa lebih mengarah pada memahami hidup secara filosofis, bahkan untuk beberapa orang—tujuan hidup bukan sekedar apa yang bisa mereka raih untuk diri mereka, namun apa yang bisa mereka berikan untuk orang lain.
Tak mungkin, 'kan dengan dunia seluas ini, manusia sebanyak ini, kita berada di dunia untuk misi yang sama? bukankah diperlukan perbedaan untuk saling melengkapi dan menciptakan keseimbangan?
Kurangi Pencarian Keluar, Dengarkan Keinginan Hati Terdalam
Dari sana saya mengerti, alasan rasa sakit yang terjadi
kemarin, alasan semua keadaan yang memaksa saya untuk berjuang baik psikis
maupun mental, juga mengapa perihal cinta kasih selalu menjadi pelajaran terberat saya, ternyata semua berorientasi pada pelajaran untuk memenuhi visi misi hidup
saya sendiri
Pemahaman ini membuat saya bisa menjalani hidup dengan lebih tenang, tidak lagi merasa bahwa saya merupakan korban kehidupan, dan menerima ketika saya kembali ditendang untuk berjuang lebih keras (walau di awal pasti saya mengumpat entah pada siapa, lol).
Konsep
oneness yang diajarkan Teal Swan juga membantu saya untuk lebih memahami
bahwa tak ada kompetisi dalam hidup. Kita memiliki tujuan masing-masing, dan
tujuan kita tidak berorientasi pada standar pencapaian yang dibuat orang lain,
tujuan kita tak bisa kita lihat dari luar, dari melihat apa yang orang lain
genggam, namun dengan melihat ke dalam diri sendiri. Untuk mendengar keinginan
hati kita terdalam.
Keterbukaan dengan diri, belajar mengenali kata hati, dan mengendalikan ego, menjadi alasan bahwa tak seharusnya ada stigma “ME VS THEM” dalam hidup kita sebagai manusia. Karena saya, kalian, kita semua, merupakan manusia dengan misi jiwa masing-masing. Saya tidak akan pernah menjadi kalian, dan kalian tidak akan pernah menjadi saya. Kita peran utama dalam skenario hidup yang berbeda.
Mohon maaf atas segala kesalahan dalam penyampaian dan penulisan. Saya menyadari saya manusia yang memiliki banyak kekurangan dan perlu banyak perbaikan.
Salam hangat,
Puti Sabrina :)